Abu
Yazid Al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan
al-Bustami. Beliau dilahirkan sekitar tahun 200 H/814 M di Bustam, salah satu
desa di daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia.
Dahulu
Abu Yazid Al-Bustami bernama Thayfur bin Isa Al-Bisthamy. Kakeknya seorang majusi namun telah masuk islam. Ia merupakan salah satu dari tiga bersaudara:
Adam, Thayfur dan Ali. Mereka semua ahli zuhud dan ibadat. Sedangkan yang agung
budinya adalah Abu Yazid.
Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di
daerahnya tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan
Ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa
ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga Ibunya muntah kalau
menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Ketika masih kecil, Abu Yazid Al-Bustami sudah gemar belajar
berbagai ilmu pengetahuan. Sebelum mempelajari ilmu tasawuf, Abu Yazid
Al-Bustami mempelajari ilmu tasawuf, dia belajar agama islam terutama dalam
bidang fiqh menurut mazhab Hanafi. Kemudian dia memperoleh pelajaran tentang
ilmu tauhid dan ilmu hakikat dari Abu Ali Sindi.
Abu Yazid Al-Bustami adalah seorang tokoh sufi yang membawa
paham yang berbeda dengan ajaran tasawuf
yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran tasawuf yang
dibawanya banyak ditentang oleh ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan dia
keluar masuk penjara. Abu Yazid Al-Bustami meninggal di Bustam pada tahun 261
H/875 M.
Pemikiran Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami
Dalam perkembangan tasawuf, yang
dipandang sebagai tokoh sufi pertama yang memunculkan persoalan fana dan baqa
adalah Abu Yazid Al-Bustami.
Sebagai
pahamnya yang dapat dianggap sebagai timbulnya fana dan baqa adalah :
أَعْرِفُهُ بِىْ فَفَنِيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
Artinya:
“Aku tahu pada tuhan melalui diriku
hingga aku fana’ (hancur), kemudian aku tahu pada-nya melalui dirinya maka aku
pun hidup.”
جَنَّنِى
بِى فَمُتُّ ثُمَّ جَنَّنِىْ بِهِ فَعِشْتُ فَقُلْتُ اَلْجُنُوْنُ بِىْ فَنَاءٌ
وَالْجُنُوْنُ بِكَ بَقَاءٌ
Artinya :
“ Ia
membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati ; kemudian ia membuat aku gila
padanya, dan akupun hidup…..aku berkata : Gila pada diriku adalah kehancuran
dan gila padamu adalah kelanjutan hidup.”
a. Fana’
Dari segi bahasa al-fana’ berarti hilangnya wujud sesuatu.
Fana’ berbeda dengan al-fasad (rusak), fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu,
sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.
Adapun arti fana’ menurut kalangan sufi adalah
penghancuran diri (fana’ al-nafs) yaitu perasaan atau kesadaran tentang adanya
tubuh kasar manusia. Pendapat lain mengatakan hilangnya sifat-sifat yang
tercela dan yang nampak hanya sifat-sifat terpuji, hilangnya keinginan yang
bersifat duniawi dan bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat
ketuhanan.
Menurut Abu Yazid al-Bustami, fana’ berarti hilangnya
kesadaran akan eksistensi diri pribadi sehingga tidak lagi merasakan kehadiran
tubuh jasmaniahnya sebagai manusia, kesadaran menyatu dalam iradah Tuhan tetapi
bukan dalam wujud Tuhan.
Dalam proses al-fana’, ada empat situasi yang dialami oleh
seseorang yaitu al-sakar, al-satahat, al-zawal al-Hijab dan Ghalab al-Syuhud.
Sakar adalah situasi yang terpusat pada satu titik sehingga ia melihat dengan
perasaannya. Syatahat secara bahasa berarti gerakan sedangkan dalam istilah
tasawuf dipahami sebagai ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata
yang terlontar dalam keadaan sakar. Al-Zawal al-Hijab diartikan dengan bebas
dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan telah berada di alam ilahiyat
dan ghalab al-Syuhud merupakan tingkat kesempurnaan musyahadah.
b. Baqa’
Baqa’ merupakan akibat dari fana’ yang secara harfiah
berarti kekal, sedangkan menurut para sufi, baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat
terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia karena lenyapnya sifat-sifat
manusia.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan dari
fana’ dan baqa’ adalah mencapai penyatuan secara rohaniah dan batiniah dengan
Tuhan sehingga yang disadarinya hanya ada Tuhan dalam dirinya.
c. Ittihad
Selain pemikirannya mengenai fana’ dan baqa’, Abu Yazid
Al-Bustami juga dikenal sebagai penyebar dan pembawa ajaran ittihad dalam
tasawuf.
Ittihad artinya bahwa tingkatan tasawuf seorang
sufi yang telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu
tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.
Dengan fana`-Nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke
hadirat tuhan. Keberadaanya dekat pada tuhan dapat dilihat dari Syathahat yang
diucapkan beliau :
لَسْتُ أَتَعَجَّبَ مِنْ حُبِّيْ لَكَ
فَأَنَا عَبْدٌ فَقِيْرٌ
وَلَكِنِّيْ أَتَعَجَّبُ مِنْ حُبِّكَ
لِيْ وَأَنْتَ مَلِكٌ قَدِيْرٌ
Artinya:
“Aku tidak
heran terhadap cintaku pada-mu karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku
heran terhadap cinta-Mu padaku. Karena engkau adalah Raja Mahakuasa”
Corak Pemikiran Abu Yazid Al-Bustami
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan
dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan
dengan Allah, menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang
teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis
atau filosof dan sufis. Konsep-konsep tasawuf mereka disebut tasawuf filsafati
yakni tasawuf yang kaya akan pemikiran-pemikiran filsafat.
Salah satu dari tokoh sufi yang
memiliki corak pemikiran filsafati atau teosofi yaitu Abu Yazid Al-Bustami.
Selain beliau, tokoh sufi lain yang juga dikenal sebagai perintis yaitu Ibn
Musarrah dari Andalusia.
Karya-karya Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid tidak meninggalkan karya tulis, tetapi ia
mewariskan sejumlah ucapan dan ungkapan mengenai pemahaman tasawwufnya yang
disampaikan oleh murid-muridnya dan tercatat dalam beberapa kitab tasawwuf
klasik, seperti ar-Risalah al-Qusyairiyyah,
Tabaqat as-Sufiyyah, Kasyf al-Mahjub, Tazkirah al-Auliya, dan al-Luma. Di
antara ungkapannya disebut oleh kalangan sufi dengan istilah satahat, yaitu ungkapan sufi ketika
berada di pintu gerbang ittihad (kesatuan dengan Allah SWT). Ucapan dan
ungkapannya yang digolongkan satahat
adalah seperti berikut.
“Maha suci aku, alangkah agung
kebesaranku.”
“Tidak ada Tuhan kecuali aku, maka
sembahlah aku.”
“Aku adalah Engkau, Engkau adalah
Aku.”
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk
pintu, Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu
Yazid”, Abu Yazid berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah
yang maha kuasa dan Mahatinggi.
Secara harfiah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid atau
yang juga dikenal Bayazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau
sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan
ucapannya Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya Bayazid pribadi. Dialog
yang terjadi sebenarnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah firman Tuhan yang
disalurkan melalui lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs.